Surya Lesmana hampir selalu memilih kursi yang sama setiap kali berada di ruangan Bob Hippy, di kantor Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), di komplek Gelora Bung Karno, Jakarta. Kursi yang berada di pojokan, di meja bundar yang berada bibir pintu.
Entah kebetulan atau tidak, tapi seringkali saat saya ke ruangan Bob Hippy, di sanalah Surya Lesmana duduk. Barangkali ia memang merasa nyaman di titik itu. Duduk di pojok, sehingga bisa memandang ke segala sudut ruangan 4×4 yang selalu dingin akibat pendingan udara yang selalu disetel di angka minimum.
Mengunjungi Bob Hippy, sebagai salah satu sahabat lama memang menjadi kebiasaan Surya Lesmana di masa tua. Duduk berjam-jam di ruangan Bob; tertawa saat membicarakan masa muda; atau kemudian diam bermenung karena ditinggal Bob yang harus bekerja.
Saya ingat, suatu waktu, Surya Lesmana hanya diam seorang diri untuk beberapa jam di ruangan karena Bob harus rapat ke kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga. Suatu kali pula, saya hanya tertawa melihat tingkah dua orang tua itu saat membicarakan masa muda mereka. Bob selalu meledek Surya sebagai pria yang tidak pernah bisa ‘move on‘ setelah putus dari kekasih masa mudanya, seorang perenang nasional yang cantik dan menjadi idola masa lalu. Surya hanya membalas ledekan itu dengan tertawa.
“Dia masih patah hati. Makanya sampai sekarang gak menikah,” kata Bob, menjelaskan ledekannya kepada saya.
Saya memanggil Surya Lesmana dengan sebutan ‘Om’, seperti halnya saya memanggil mayoritas pengurus yang lain yang juga sudah ‘berumur’. Tapi, menurut saya, ia masih sangat kuat untuk kategori pria ‘berumur’. Usianya memang hampir 70 tahun, namun jalannya masih tegap. Cara bicaranya pun masih lantang dan jelas. Ia sering menggunakan kata ‘you‘ atau ‘I‘ saat ngobrol dengan lawan bicara, atau menggunakan beberapa kata lain dalam bahasa Inggris. Sisa kebiasaan saat tinggal di luar negeri barangkali masih terbawa sampai sekarang. Itu asumsi saya.
Meski kuat duduk untuk beberapa jam di ruangan Bob, saya jarang melihat Surya makan atau minum dengan banyak. Bob selalu menyuguhkan secangkir teh manis kepadanya, tapi saya jarang melihat teh manis itu tandas hingga hanya tersisa cangkir kosong. Lebih sering tersisa setengah atau seperempat air teh yang kemudian mendingin karena AC.
Kadang ada sepiring pisang goreng, setoples kacang goreng pasir atau bagea, makanan khas Ternate, Malaku Utara yang disuguhkan kepada Surya di meja bundar tempat ia biasa duduk. Tapi ia jarang menyentuhnya. Jika yang disuguhkan pisang goreng, ia hanya memakan satu atau dua potong, kemudian diam atau kembali ngobrol. Jika Kacang goreng pasir atau bagea yang ada di toples, ia tidak menyentuhnya. Justru saya yang selalu menghabiskan camilan tersebut sambil mendengarkan ceritanya tentang UMS, mendiang drg. Endang Witarsa, atau sepenggal kisah lain di Petak Sin Kian, Mangga Besar.
“I gak kuat makan kacang,” katanya kepada saya suatu waktu.
***
Begitu sedikit kesan saya tentang Surya Lesmana, mantan bintang sepak bola nasional yang sekarang luntang-lantung akibat buruknya manajemen keuangan. Seperti itu juga Abdul Kadir yang tidak meninggalkan kekuatan finansial bagi keluarganya setelah ia ‘pergi’, sehingga saat ini istrinya hidup di rumah reyot yang bagi beberapa orang sudah tidak lagi layak huni.
Semoga sepak bola Indonesia semakin baik di masa depan..
Note: Saya tidak cerita banyak soal Surya Lesmana. Buat yang belum tahu, sila buka tauta berikut: