Sepak Bola, pada Suatu Masa

Gabriel Batistuta (foto: AP)

Pada suatu masa, ketika umur masih belasan, saya pernah berpura-pura sebagai pesepakbola besar dunia. Punya skill menawan: mengecoh lawan lewat gerakan gemulai bak balerina seperti Zinedine Zidane, lalu menyelesaikan peluang lewat tembakan keras menghujam pojok gawang ala Gabriel Batistuta.

Gooolll…! Saya pun berselebrasi bak model majalah dewasa difoto sambil tidurannge-gelosor di rumput ala Brian Laudrup saat Piala Dunia 1998.

Ya, saya pernah ada di sana. Saat ketika sepak bola benar-benar terkonstruksi oleh imajinasi  bocah yang hanya memiliki bola basket kecil berwarna oranye yang sedikit kempes yang diubah fungsi menjadi bola sepak.

Saya berharap memiliki skill komplet pemain terbaik dunia tadi, lalu membantu Indonesia meraih banyak gelar: juara Asia, lalu menapak ke Piala Dunia.

Terlihat sederhana bagi seorang anak kecil. Maka, saya pun merengek minta dibelikan sepatu bola, kemudian bergabung ke sebuah sekolah sepak bola lokal tidak jauh dari rumah.

Baru beberapa bulan, mimpi saya perlahan luntur seiring bubarnya sekolah sepak bola tersebut karena kekurangan biaya. Saya pun gagal unjuk diri kepada pelatih sepak bola saat SMP, yang tidak memilih saya ke tim sekolah karena menilai saya sama seperti anak-anak kebanyakan: tidak berbakat dalam sepak bola.

(Oh ya, saat seleksi tim sekolah, saya bahkan terjatuh dengan sendirinya tanpa di-tackle saat latihan dribble. Memalukan!)

Mimpi kadang memang berakhir dengan cepat. Persis seperti mimpi saya, itu pula yang saya lihat terjadi pada Andi Muhammad Guntur, penjaga gawang timnas Indonesia saat dipermak 0-10 dari Bahrain di Manama awal tahun ini. Ia pemain muda berbakat, paling tidak itu penilaian salah seorang penjaga gawang eks-PSM yang pernah saya temui.

Sila buka tautan untuk biodata Andi Muhammad Guntur:

http://en.wikipedia.org/wiki/Andi_Muhammad_Guntur

Andi Muhammad Guntur saat dibobol 10 gol oleh Bahrain (foto: AP)

Meritokrasi

Tim nasional adalah wujud lain dari meritokrasi. Yang terbaik yang seharusnya bermain. Hasil pertandingan tidak diukur di surga: di mana siapa yang ketika ditampar di pipi kiri, lalu memberikan pipi kanan akan mendapat tempat layak.

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia wajib menyadari itu. Mimpi pemain muda seperti Guntur adalah penghias masa depan sepak bola Indonesia. Mimpi yang harus dijaga, bukan justru dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat organisasi yang menjual kebanggan kostum garuda kepada seseorang yang belum cukup kuat mengenakannya. Harusnya PSSI membiarkan Guntur bermimpi menjadi pemain hebat di timnas, sampai suatu saat ia terbangun dan sadar harus mulai merealisasikan mimpinya.

Sekarang, saat mimpi Guntur telah berantakan dan kedua pipinya telah tertampar, ia tak jua mendapat tempat terhormat. Impiannya berantakan sebelum merekah. Lalu, siapa lagi yang akan memakai jasa penjaga gawang yang diberondong 10 gol di suatu pertandingan itu? PSSI telah menghancurkannya, hanya dalam sekejap masa.

***

Berita kekalahan Indonesia di guardian dan rencana investigasi FIFA terhadap dugaan jual-beli pertandingan: http://www.guardian.co.uk/football/2012/mar/01/fifa-routine-inquiry-bahrain-indonesia

Selebrasi Brian Laudrup di Piala Dunia 1998. Selebrasi favorit saya sampai sekarang (foto: http://www.catflapfootball.com)

Leave a comment