
Ratusan penggemar sepak bola tim Shanghai Shenhua menyemut di Bandara Internasional Pudong, Shanghai, Cina, Sabtu 14 Juli 2012. Sudah beberapa jam mereka hadir di sana. Beberapa mengenakan jersey biru klub kesayangan. Beberapa lagi bertelanjang dada dan membawa poster.
Berjam-jam mereka betah menunggu, mengisi waktu dengan bernyanyi, sampai akhirnya orang yang ditunggu hadir di tengah-tengah mereka: Didier Drogba.
Ya, mulai hari itu mantan pemain Chelsea tersebut akhirnya menetap di Shanghai untuk dua setengah tahun ke depan setelah menandatangani kontrak dengan salah satu klub besar Liga Super Cina, Shanghai Shenhua, yang membuatnya menjadi pemain bergaji termahal di Cina, yaitu senilai USD 15,19 juta selama setahun.
Drogba memang dinilai membuat keputusan mengejutkan bagi beberapa pengamat bola sepak di benua biru. Ia memutuskan pergi dari Chelsea, klub yang baru saja ia bawa meraih titel Liga Champions Eropa, hanya untuk pindah ke timur jauh. Padahal, beberapa klub Eropa, seperti Barcelona atau AC Milan telah mengutarakan ketertarikan untuk memakai jasa kapten tim nasional Pantai Gading tersebut.
“Saya tidak pindah karena uang, tapi ingin mencari tantangan baru di sini (Cina),” ujar Drogba, seusai sampai di Cina.
Mungkin memang hanya Drogba pribadi yang tahu persis alasan kepindahan tersebut. Tapi bagi orang lain, alibi mantan pemain Marseille itu teramat sulit dicerna mentah-mentah.
“Kepindahan itu saya rasa murni karena dorongan uang,” ujar Rob Shield, salah seorang agen pemain Eropa, seperti dikutip dari CNN.
“Mereka (Shanghai Shenhua) mengeluarkan uang lebih dari biasa yang mereka keluarkan utuk standar di sana. Itu sangat besar ukuran Cina,” ujar Rob lagi.
Daftar Pemain/ Pelatih berpedapatan tertinggi di Liga Super Cina:
Player Club Salary/ years (dalam juta)
1 Drogba – Shenhua $15.19
2 Anelka – Shenhua $15.19
3 Lippi – Evergrande (m) $12.66
4 Barrios – Evergrande $8.23
5 Yakubu – R&F $7.85
6 Conca – Evergrande $7
7 Moises – Shenhua $3.50
8 Moreno – Shenhua $3
9 Okada – Greentown (m) $2.36
10 Pacheco – Guoan (m) $2.20
11 David – R&F $2
12 Kanoute – Guoan $2
13 Vingada – Shide (m) $2
14 Jevtic – Sainty $1.50
15 Cleo – Evergrande $1.50
*m: manager
(Sumber: Wild East Football)
(Kembali) Wangi Semerbak
Liga Super Cina, yang berlogo bola api merah-kuning-hitam itu memang wangi semerbak akhir-akhir ini, yang membuat beberapa pemain dan pelatih top di Eropa dan Amerika Latin mencoba peruntungannya di sana. Nicolas Anelka, Seydou Keita, Lucas Barios, Ayegbeni Yakubu, Frederic Kanoute, atau Dario Conca adalah beberapa pemain dengan nama besar yang sudah mendahului Drogba.
Park Ji-Sung juga sempat digoda untuk bermain di negeri Tirai Bambu (julukan Cina), meski akhirnya sang pemain memilih tetap bertahan di Liga Premier Inggris bersama Queens Park Rangers. Sedangkan Marcelo Lippi, Takeshi Okada, dan Sergio Batista adalah deretan nama pelatih top yang saat ini meramaikan Liga Super Cina yang sempat dijauhi sponsor akibat suap dan jual-beli pertandingan.

Tak heran, dengan deretan nama besar itu, situs transfer market mencatat Liga Super Cina sebagai liga termahal ketiga di Asia dengan nilai sekitar USD 89 juta, di bawah J-League (liga Utama Jepang) dengan total nilai USD 220 juta, dan K-League (Liga Utama Korea Selatan) dengan nilai total sekitar USD 155 juta. Tapi, Liga Super Cina masih lebih mahal jika dibanding Iranian Pro League (Liga Utama Iran) yang ada di posisi keempat dengan nilai total sekitar USD 57 juta, dan A-League (Liga Utama Australia) yang ada di peringkat ke-5 liga termahal Asia dengan nilai sekitar USD 51 juta.
“Kedatangan nama-nama besar itu bagus untuk sepak bola Cina. Di satu sisi, mereka akan bisa membantu memperkecil jarak kualitas antara klub Cina dengan klub Korea Selatan atau Jepang sat berlaga di Liga Champions Asia,” ujar pejabat sementara Presiden Konfederasi Sepak Bola Asia, Zhang Jilong, yang juga asal Cina.
“Menyenangkan melihat pemain kelas dunia direkrut oleh klub Asia, karena secara tidak langsung penggemar sepak bola di seluruh dunia akan menaruh perhatian terhadap sepak bola Asia secara keseluruhan. Di satu sisi, kedatangan para pemain dunia itu akan mempersempit jarak kualitas klub Asia dengan klub Eropa atau Amerika Latin dengan cepat,” ujar pengganti Mohammad Bin Hammam tersebut menambahkan.

Tapi berbeda dengan sang bos, Direktur Kompetisi AFC, Tokuaki Suzuki menilai kedatangan pesepakbola besar ke Cina itu secara tidak langsung justru bisa berefek buruk bagi tim nasional Cina. Jika tidak dibarengi dengan pembinaan usia dini, Suzuki percaya tim nasional sepak bola Cina akan kehabisan pemain berkualitas dalam beberapa tahun ke depan.
“Jangka pendek memang bagus bagi Cina karena bisa mempromosikan liga sepak bola mereka. Tapi Cina juga harus berpikir bahwa mereka harus berinvestasi dalam usia dini untuk keseimbangan dalam jangka panjang,” ujar Suzuki.
Kehilangan Popularitas
Usai 2002, saat terakhir kali (dan satu-satunya) Cina tampil di Piala Dunia, popularitas sepak bola memang terus menurun. Prestasi timnas yang tidak membaik, ditambah ulah tidak sportif di liga lokal, seperti suap; jual-beli pertandingan; atau kerusuhan suporter membuat sekitar 600 juta penggemar sepak bola Cina berpaling ke olahraga lain.

Misalnya saja pada 2009, dalam lanjutan Divisi Dua Liga Cina antara Qingdao Hailifeng-Sichuan FC. Saat itu, Qingdao telah unggul tiga gol hingga pertandingan tersisa dua menit. Asisten pelatih Qingdao memberi tanda untuk meminta kiper maju meninggalkan gawang. Si kiper menurut dan berjalan meninggalkan gawang. Tapi, tiba-tiba salah seorang pemain belakang memberikan umpan balik yang melambung dan keras, melewati kepala penjaga gawang. Nyaris gol bunuh diri, andai ‘umpan balik’ tersebut tidak melenceng di sisi gawang.
Usai pertandingan, alih-alih marah akibat nyaris kebobolan oleh gol bunuh diri, bos Qingdao, Du Yunqi justru marah akibat hal berbeda. “Bos (Du Yunqi) justru marah karena gol bunuh diri itu gagal terjadi. Saya dibilang tidak bisa berperan mengatur hasil pertandingan,” ujar sang asisten pelatih yang tidak disebutkan namanya itu.
Pertandingan itu memang telah diatur. Kepada investigator yang menyelidiki seusai pertandingan, Du Yunqi mengaku bertaruh bahwa akan terjadi empat gol di pertandingan tersebut. Du gagal mendapat banyak uang dari taruhan itu karena hanya tercipta tiga gol.
Du Yunqi bukan satu-satunya ‘orang bola’ di Cina yang terbukti bertindak tidak sportif. Pada 2010, Shao Menzhong, Kepala Pemasaran Asosiasi Sepak Bola Cina ditahan polisi akibat terlibat dalam ‘jual-beli’ pertandingan. Di tahun yang sama, 20 orang, yang terdiri dari pemain, pelatih dan ofisial tim ditahan akibat kasus serupa. Salah satu dari 20 orang itu bahkan Wakil Ketua Federasi Sepak Bola Cina, Nan Yong.
Pada Desember 2011, salah seorang wasit senior Cina, Huang Junjie juga kedapatan menerima USD 245 ribu dari dua pertandingan persahabatan internasional dan mengambil 20 suap dari klub lokal Cina selama kurun 2005-2009. Salah satu pertandingan bahkan partai eksebisi antara Manchester United-Shenzen. Saat itu, Huang diminta mengatur agar Shenzen menang dalam koin tos sebelum pertandingan. Pertandingan sendiri berujung kemenanan 6-0 untuk Manchester United.
“Kami tahu sepak bola Cina kotor. tapi saya tidak menyangka akan sekotor ini. Saat sudah masuk ke dalam industri ini, saya baru menyadari bahwa memberi uang kepada wasit adalah prosedur standar. Saya bisa bilang bahwa sembilan dari sepuluh wasit di Cina telah menerima suap,” ujar Song Weiping, salah seorang pemilik klub di Liga Cina, seperti dikutip dari Los Angeles Times.
“Bayarannya sekitar USD 7.300 per pertandingan. Pada awalnya saya menolak melakukan itu (uang kepada wasit), tapi pelatih meyakinkan saya dengan mengatakan bahwa wasit bisa saja merugikan kami jika lawan ternyata telah terlebih dahulu memberikan uang,” Song menambahkan.
Dengan kebobrokan tersebut, tidak heran penggemar sepak bola Cina punya banyak olok-olok bagi sepak bola mereka. Seperti pada 2008 lalu, saat susu produksi Sanlu dinyatakan terkontaminasi melamin (salah satu bahan kimia pembuat plastik) dan menjadi isu nasional di Cina, sebuah pernyataan sarkastik sempat populer di kalangan penggemar sepak bola negera tersebut, yang berbunyi: “Susu Sanlu, minuman eksklusif untuk tim nasional sepak bola Cina.”
Pernyataan itu adalah wujud kemarahan akibat nirprestasi. Penduduk Cina yang sangat bangga dengan pencapaian mereka di dunia internasional (baik pertumbuhan ekonomi atau prestasi di Olimpiade musim panas) merasa dikecewakan oleh sepak bola. Sepak bola adalah lawakan tidak lucu yang merendahkan harga diri bangsa.
“Semua medali emas di Olimpiade Beijing tidak berarti banyak bagi penggemar olahraga di Cina. Semua medali emas itu, atau rekor pertumbuhan ekonomi yang kami raih tidak bisa dijadikan patokan kekuatan Cina di dunia internasional,” kata Xu Guogi, seorang profesor bidang Asia Timur di Kalamazoo College, mengkritik lewat tulisaannya di Washington Post.
“Patokannya adalah sepak bola,” pungkas Xu Guogi.
***
Sumber tulisan:
AP; THE ECONOMIST.
sepakbola memang mempunyai nilai pemersatu nasional
http://bolaasia.com/